“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertakwa”
(QS 2:2).
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk dan hidayah bagi manusia dan seluruh makhluk yang bertaqwa di atas bumi ini.
Seluruh alam yang luas beserta isinya dari bumi, laut dan segala isinya
akan menjadi kecil dihadapan manusia yang lemah, karena ia telah diberi
keistimewaan-keistimewaan seperti kemampuan berpikir untuk mengelola
seluruh yang ada dihadapannya. Akan tetapi Allah tidak akan membiarkan
manusia tanpa adanya wahyu pada setiap masa, agar mendapat petunjuk dan
menjalankan kehidupannya dengan benar. Maka Allah mengutus Rasul-Nya
dengan mu’jizat yang sesuai dengan kecanggihan kaum pada masanya, agar
manusia mempercayai bahwa ajaran yang ia bawa datang dari Allah SWT.
Oleh
karena akal manusia pada masa pertama perkembangannya lebih dapat
menerima mu’jizat yang bersifat materi seperti mukjizat tongkat Nabi
Musa yang bisa berubah menjadi ular besar, mukjizat Nabi Isa dapat
menghidupkan orang yang mati dengan izin Allah, dapat menyembuhkan orang
buta maka setiap Rasul pun diutus dengan mukjizat yang sesuai dengan
kemampuan kaumnya agar mudah diterima. Ketika akal manusia mencapai
“kesempurnaannya”, Allah memberikan risalah Muhammad yang kekal kepada
seluruh umat manusia yang tidak terbatas pada kaum di masanya saja. Maka
mukjizatnya adalah mukjizat yang kekal sesuai dengan kematangan
perkembangan akal manusia.
Utusan
ini akan dihadapkan dengan ketidakpercayaan sebagaimana yang telah
dihadapi oleh semua para rasul. Allah telah mengetahui semua itu,
justeru itu, Dia telah memperkuatkan para rasul dengan bantuan
daripada-Nya untuk para rasul tersebut, bantuan ini terealisasi di dalam
bentuk mukjizat, mengikut apa yang diistilahkan oleh orang ramai dengan
mereka menamakannya dengan المعجزة [al-mu’jizah] dan Al-Quran pula telah menamakannya sebagai بَيِّنَةٍ [bayyinah], بُرْهَانٍ [burhan], سُلْطَانٍ [sultan] dan آيَةٍ [ayat]. Semua mukjizat atau keterangan-keterangan tersebut ditegaskan dalam Al Qur’an.
Allah
menjadikan keterangan ini sesuai untuk setiap kaum supaya ia menjadi
lebih kuat untuk menegakkan bukti kebenaran utusan tersebut, Nabi Musa -عليه السلام-, dimana pada masa itu masyhur dengan ilmu sihir, maka Allah menjadikan mukjizat untuk Nabi Musa -عليه السلام- sesuai dengan ilmu ini.
Mukjizat berasal dari kata Al I’jaz yang artinya melemahkan atau mengalahkan. Menurut Imam As Suyuti,
mukjizat dalam pemahaman syara’ adalah kejadian yang melampaui batas
kebiasaan, didahului oleh tantangan, tanpa ada tandingan.
Menurut Ibnu Khaldun,
mukjizat adalah perbuatan-perbuatan yang tidak mampu ditiru oleh
manusia, maka ia dinamakan mukjizat, tidak masuk ke dalam kategori yang
mampu dilakukan oleh hamba dan berada diluar standart kemampuan mereka.
Muhammad Kamil Abdush Shamad,
menerangkan bahwa mukjizat ada yang bersifat material yang dicerna
panca indera namun melawan hukum alam yang ada dan mukjizat yang
bersifat rasional, semua direspon oleh daya nalar sesuai dengan
kemampuan dan pemahamannya.
Dari
beberapa pengertian tersebut dapat diambil sebuah pengertian mendasar
bahwa mukjizat merupakan kejadian yang luar biasa, melebihi standart
kemampuan manusia yang berlaku secara umum.
B. Kemukjizatan Ilmiah
Istilah Al I’jaz Al ‘Ilmiy (kemukjizatan ilmiah) Al Qur’an
mengandung makna bahwa sumber ajaran agama tersebut telah mengabarkan
kepada kita tentang fakta-fakta ilmiah yang kelak ditemukan dan
dibuktikan oleh eksperimen sains umat manusia, dan terbukti tidak dapat
dicapai atau diketahui dengan sarana kehidupan yang ada pada jaman
Rasulullah saw.
Hubungan
antara tanda-tanda kebenaran di dalam Al Qur’an dan alam raya dipadukan
melalui mukjizat Al Qur’an (yang lebih dahulu daripada temuan ilmiah)
dengan mukjizat alam raya yang menggambarkan kekuasaan Tuhan.
Masing-masing mengakui dan membenarkan mukjizat yang lain agar keduanya
menjadi pelajaran bagi setiap orang yang mempunyai akal dan hati bersih
atau orang yang mau mendengar. Beberapa dalil kuat telah membuktikan
bahwa Al Qur’an tidak mungkin datang, kecuali dari Allah. Buktinya tidak
adanya pertentangan diantara ayat-ayatnya, bahkan sistem yang rapi dan
cermat yang terdapat di alam raya ini juga tidak mungkin terjadi,
kecuali dengan kehendak Allah yang menciptakan segala sesuatu dengan
cermat.
Syeikh Abdul Majid Az-Zindani, mengulas tentang mukjizat ilmiah dalam Al Qur’an,
“...Yaitu
ilmu uji kaji modern datang dan mendalami kajian-kajian yang luas di
dalam pelbagai bidang, dengan bantuan alat-alat yang canggih, dan
setelah beberapa pengembaraan yang menjabarkan berserta seangkatan
pengkaji, terbentuklah satu bahagian di samping satu bahagian (yang
lain) dan apabila fakta tersebut telah siap sempurna, tiba-tiba didapati
ianya telah pun dinyatakan di dalam kitab Allah (Al-Quran) sebelum 1400
tahun [yang lalu]. Lalu orang ramai pun mendapat tahu bahawa Al-Quran
ini diturunkan dengan ilmu Allah, dan bukannya [datang] dari sisi
seorang utusan yang [berada] di zaman .. sebelum 1400 tahun di hari yang
tidak ada sebarang perkakas kajian saintifik atau peralatan kajian ..”
a. Dapatkah
hal ini mejadi sebuah kejadian yang kebetulan bahwa akhir-akhir ini
penemuan informasi secara ilmiah dari lapangan yang berbeda yang
tersebutkan di dalam al-Quran yang telah turun pada 14 abad yang lalu?
b. Dapatkah al-Quran ini ditulis atau dikarang Nabi Muhammad SAW atau manusia yang lain?
Dalam buku At Tafkir Faridhah Islamiyah
(berpikir sebuah kewajiban Islam), Abbas Mahmud Aqqad menyebutkan dua
macam mukjizat yang harus dibedakan, yang pertama mukjizat yang mengarah
ke akal, dapat ditemukan oleh siapapun yang ingin mencarinya, mukjizat
ini adalah keteraturan gejala-gejala alam dan kehidupan yang tidak
berubah berupa sunnatullah.
Yang
kedua adalah mukjizat yang berupa segala sesuatu diluar kebiasaan.
Mukjizat ini membuat akal manusia tercengang dan memaksanya untuk tunduk
dan menyerah.
Hal yang dapat kita jadikan i’tibar dalam mukjizat ilmiah pada Al Qur’an adalah motivasi/dorongan yang kuat bagi manusia untuk selalu memperhatikan ayat-ayatNya (tadabbur). Tentusaja memperhatikannya seiring dengan kemauan untuk memikirkannya dan mengingat penciptanya.
Dari
sini pula dengan mengkaji mukjizat ilmiah dalam Al Qur’an mampu
menumbuhkan keimanan dan rasa syukur pada Allah sebagaimana pernah
disampaikan oleh Prof. Abdul Karim Al Khathib, “Mukjizat Al Qur’an
terletak pada kepioniran dalam menyatakan hal-hal yang baru saja
ditemukan oleh penilitian ilmiah”.
Kemudian
Prof. Al Khathib menerangkan, “Maksud utama kami dalam menganalisis
mukjizat Qur’ani adalah menciptakan hubungan yang erat dengan kitab
Allah dalam hati seorang muslim. Kami ingin menanamkan iman terhadap
Kitab Allah berdasarkan pengetahuan, pemahaman dan perasaan yang murni
terhadap ayat-ayat dan kalimat-kalimatNya.
Meskipun
demikian, kami menemukan isyarat-isyarat Al Qur’an yang bersifat
ilmiah. Hal ini mendapatkan perhatian yang sangat besar dari kalangan
para peneliti Eropa. Karena, isyarat yang dikandung Al Qur’an sejak lima
belas abad yang lalu ditemukan dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan
modern sekarang.
Meskipun
telah banyak bukti-bukti ilmiah tentang kebenaran Al Qur’an, para
pemuja materialisme, para sekuler dan para ateis, tentu saja masih terus
membantah kebenaran-kebenaran Al Qur’an karena ketakutan akan implikasi
mengakui keberadaan Sang Pencipta. Selain itu, mereka selalu melakukan
pembenarannya atas bukti-bukti logika (baca: matematis, empiris,
biologis, sosiologis) sebagai dasar pijakan postulatnya.
Menurut Muhammad Kamil Abdush Shamad,
tujuan dari kajian mukjizat ilmiah Al Qur’an adalah untuk meluaskan
cakupan hakikat dari ayat-ayat Al Qur’an, kemudian memperdalam
makna-makna yang terkandung di dalamnya sehingga mengakar dalam jiwa dan
pemikiran manusia dengan cara mengambil hikmah dari eksplorasi keilmuan
kotemporer yang tercakup dalam makna-maknanya. Sedangkan menurut
Ibrahim Muhammad Sirsin,
bertujuan memperdalam makna-makna melalui proses analisis terhadap
variabel-variabel yang detail. Juga melalui perbandingan mendalam
terhadap kritikan para pakar yang profesional di bidangnya serta para
peneliti alam dan kehidupan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Kita
juga tidak boleh memasukkan dan memaksakan asumsi dan hipotesis ilmiah
yang masih berupa bahan perdebatan dan masih diuji diantara para pakar.
Karenanya, tidak pantas orang yang mengadopsi asumsi-asumsi ini berusaha
memaksakan Al-Qur’an untuk menguatkan teorinya. Sebab, bisa jadi asumsi
dan teori mentah itu nanti terbukti tidak benar, lalu akhirnya
mengkambinghitamkan Al-Qur’an. Namun hal ini dapat dijelaskan dalam kerangka bahwa:
1. Tidak ada kontradiksi antara hakikat ilmu pengetahuan dengan hakikat Al Qur’an karena berasal dari satu sumber.
2. Tafsir
ilmu tidak akan mempengaruhi originalitas karena nash tidak mengalami
perubahan sesuai teks aslinya. Tafsiran yang diberikan yang akan
disalahkan
Sebagaimana ditulis oleh Muhammad Mutawalli Asy Sya’rawi dalam kitab Mu’jizah Al Qur’an, dikarenakan Al Qur’an adalah mukjizat maka nashnya harus tetap dan tidak berubah-ubah, kalau tidak maka hilanglah mukjizatnya.
Oleh
karena itu, kalau nash tidak secara tegas menunjukkan pada salah satu
teori ilmu sains, maka tidak selayaknya bagi kita untuk memaksakannya,
baik untuk menetapkan maupun untuk menafikkan. Karena itu kita harus
mencari ilmu dari jalannya masing-masing, ilmu astronomi didapatkan dari
penelitian, ilmu kedokteran didapat dari hipotesis dan uji coba. Dengan
demikian, niscaya Al Qur’an akan selalu terjaga, tidak dipergunakan
untuk memperdebatkan teori ini, yang mana semua teori ini bisa diterima
juga bisa ditolak serta bisa pula diganti, sebagaimana juga tidak layak
bagi seseorang yang tidak mengetahui hakikat ilmu tertentu untuk menolak
mentah-mentah selagi tidak secara tegas bertentangan dengan nash yang shohih.
Namun
tidak bisa dipungkiri bahwa kesalahan pada manusia dalam menulis kitab
bisa saja terjadi, seperti apa yang telah dikatakan oleh Al Qodhi Al
Fadhil Abdur Rahim bin Ali Al Baisani, “ Saya melihat bahwasanya tidak
ada seorangpun yang menulis sebuah kitab kecuali besoknya dia akan
berkata : ‘Seandainya tempat ini diubah niscaya akan lebih baik,
seandainya ditambah dengan begini maka akan lebih bagus, seandainya ini
dikedepankan niscaya akan lebih utama, dan seandainya yang ini dibuang
niscaya akan lebih indah.’ Ini semua adalah dasar yang paling kuat bahwa
manusia adalah makhluk yang serba kurang.”
Dari
sisi lain bahwa pemahaman baru terhadap ayat itu tidak boleh
membatalkan pemahaman lama. Dengan ungkapan lain, kita tidak layak
menuduh umat sejak jaman sahabat, bahkan sejak jaman Nabi saw, salah
dalam memahami satu ayat, kemudian mengklaim bahwa yang benar adalah
pemahaman yang dimiliki si penafsir baru itu. Selayaknya dikatakan,
makna baru ini merupakan tambahan yang digabungkan dengan pemahaman
lama, dan bukan membatalkannya. Sebab diantara keistimewaan Al-Qur’an,
keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis tergali.
Kemukjizatan
ilmu pada Al Qur’an memang tidak memposisikan Al Qur’an sebagai kitab
sains. Namun dapat memberikan isyarat atau petunjuk untuk melakukan
kajian lebih jauh terhadap pengembangan sains.
Isyarat ilmiah dalam Al Qur’an mengandung prinsip-prinsip/kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan di setiap jaman dan kebudayaan. Hal ini membawa maksud bahwa :
-
Ayat yang memberikan isyarat tidak harus terperinci, sehingga
para ilmuwan bisa mengkajinya atau memperinci dengan melakukan
penelitian.
-
Mukjizat ilmiah Al Qur’an tidak hanya untuk waktu tertentu
saja yaitu ketika terjadi penentangan, namun berlaku juga ke masa yang
akan datang.
Pada satu masa beberapa mukjizat dirasa kurang masuk akal atau
bertentangan dengan nalar dan logika. Tetapi kapasitas nalar dan
intelektual yang dimiliki tidaklah sama, tergantung pada daya pikir
seseorang.
C. Penutup
Dapat
disimpulkan bahwa mukjizat ilmiah pada Al Quran dapat memperkuat
keimanan terhadap Al Qur’an sebagai wahyu Allah. Kalaupun terdapat
pertentangan sesungguhnya lebih terletak pada jangkauan penafsiran atau
teknologi yang mendukung eksplorasi sains. Dari pendekatan arah yang
lain mukjizat ilmiah yang ada pada Al Qur’an dapat memberikan motivasi
dan memberikan isyarat bagi pengembangan sains. Walaupun tentusaja harus
dilakukan dengan cermat dan menyeluruh serta didasari dengan kaidah
penafsiran yang benar.
Disampaikan
oleh Syeikh A M Az-Zindani pada sebuah kajian yang bertajuk Keajaiban
Saintifik Di Dalam Al-Quran,2002. Az-Zindani Merupakan rektor Universiti
Al-Iman-Yaman & Pengasas Jabatan Tanda-tanda Saintifik di dalam
Al-Quran dan As-Sunnah yang berada di bawah Liga Islam Sedunia di Mekah
diambil dari http://www.geocities.com/permaya02/pendahuluanz.htm
Prof.Dr.Ahmad Fuad Pasya dalam buku Dimensi Sains Al Qur’an, terjemahan dari buku Rahiq Al-Ilmi wa Al-Iman, hal.23
Disampaikan oleh Syeikh A M Az-Zindani pada sebuah kajian yang bertajuk Keajaiban Saintifik Di Dalam Al-Quran, 2002.
Hal
ini juga disampaikan oleh prof. Muh. Adduwais dalam kuliah
interdisiplinir tentang metodologi penelitian studi Islam kontemporer di
kampus UMS,2007
Muhammad Mutawalli Asy Sya’rawi dalam kitab Mu’jizah Al Qur’an (dari buku Mukjizat Ilmiah dalam Al-Qur’an)
Gulen merupakan pemikir dari Turkey yang dalam bukunya menawarkan
gagasan adanya penggabungan pencerahan intelektual dengan spirituil
khususnya bagi genenrasi muda
-------------------------------------------
PUSTAKA
Al-Qur’an
Abdushshamad, Muhammad Kamil. 2004. Al-I’jazul Ilmi fil-Qur’anil-karim,terj: Mukjizat Ilmiah Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Akbar
Al-Rehaili, Abdullah M.,Bukti Kebenaran Quran , Yogyakarta: Tajidu Press, 2003
Bucaille, Maurice Dr, 1976, La Bible Le Coran Et La Science, terj: Bibel, Alqur’an dan Science Modern,Penerbit bulan Bintang,Jakarta
Gulen, M. Fethullah,2002,Essential of The Islamic Faith,The Fountain,Turkey
http://layananquran.com/plq/index.php,2008
http://www.media-islam.or.id,2008
Khaldun, Ibn. 2005. Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus
Pasya, Ahmad Fuad. Prof, 2004. Rahiq Al’Ilmi wa Al-Iman,terj:Dimensi Sains Al-Qur’an, Tiga Serangkai, Solo
Qardhawi, Yusuf DR. 1996. Al-Aqlu wal-Ilmu fil-Quranil-Karim,terj.:Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta : Gema Insani Pers
Saksono, Tono. 2006. Mengungkap Rahasia Simfoni Dzikir Jagat Raya, Pustaka Darul Ilmi, Bekasi
Asy-Syinqithi, Syaikh Muhammad Amin, Adhwa’ul Bayan fi Tafsiril Qur’ani bil Qur’an,-
Turner, Horwad R, 1997, Science in medieval Islam, An Ilustrated Introduction, University of Texas Press,Texas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar