Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar
(infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut
bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari
suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada
hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta
benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda
Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan
Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
"...
Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain
itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
'Ulama
adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para
ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang),
tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah
segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau
lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan
dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya
(seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan
kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar
yang belum diberikan kepada istrinya).
Di
dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris
bagi para kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang
mesti diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman
Allah berikut:
"Bagi laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan. " (an-Nisa': 7)
"... Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
"... Dan orang-orang yang
mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam
Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali
kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang
demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)
Pada ayat kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6)
ditegaskan bahwa kerabat pewaris (sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan
bagian dibandingkan lainnya yang bukan kerabat atau tidak mempunyai tali
kekerabatan dengannya. Mereka lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan
kaum Muhajirin.
Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa
pada masa itu kaum muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah
dan rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum
Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin
dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak
mendapatkan warisan. Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama
yang kuat, kaum muslim telah benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya,
dan kaidah-kaidah agama telah begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka
setelah peristiwa penaklukan kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan)
hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan persaudaraan, dengan hukum pewarisan
yang disebabkan nasab dan kekerabatan.
Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan
tegas menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua jenis manusia
lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya dengan rahmat
dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan hak
waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya
memberikan hak waris secara imbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang
besar, laki-laki ataupun wanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang
banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak
waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab.
Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum
muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat
tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah besar-kecilnya hak
waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut
mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya
nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).
Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di
antara kita yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian kaum laki-laki dua
kali lipat bagian kaum wanita, padahal kaum wanita jauh lebih banyak
membutuhkannya, karena di samping memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan
bantuan baik moril maupun materiil?
Beberapa hikmah adanya syariat yang telah Allah tetapkan
bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:
- Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
- Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
- Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.
- Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan papan.
- Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang
terkandung dalam perbedaan pembagian antara kaum laki-laki --dua kali lebih
besar-- dan kaum wanita. Secara logika, siapa pun yang memiliki tanggung jawab
besar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yang
lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukum
Islam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar
daripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat
dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa
yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru
lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki.
Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum
laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung
nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris,
tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk
membelanjakan harta miliknya meski sedikit, baik untuk keperluan dirinya atau
keperluan anak-anaknya (keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan ini
tetap berlaku sekalipun wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan.
Sebab, suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan
keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
"...
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)
Pembagian Warisan Menurut Hukum Adat
Setiap anggota
masyarakat di pedesaan pada umumnya sangat menghormati adat istiadat yang
diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun. Bahkan adat istiadat
merupakan dasar utama hubungan antar personal atau kelompok. Adat-istiadat atau
kebiasaan masyarakat tersebut kemudian berkembang menjadi hukum adat dimana
harus dipatuhi oleh segenap anggota Hukum adat dalam masyarakat adat, masih dianggap sebagai aturan hidup untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Akan tetapi, sebagai hukum yang hidup (living law), hukum adat tidak selamanya memberi rasa adil
kepada masyarakatnya. Hal itu dikarenakan, pemberlakuan
hukum adat dipaksakan oleh penguasa adat dan kelompok
sosialnya.
Hukum
adat juga tidak bisa dipisahkan dengan agama.
Meskipun merupakan hal yang masing-masing berdiri sendiri,
hukum adat dan agama yang dalam hal ini adalah hukum Islam,
mempunyai hubungan yang sangat erat. Hukum adat berasimilasi dengan hukum Islam atau hukum Islam yang diterapkan dalam masyarakat menjadi hukum adat. Kepentingan
sosial akan hukum dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianut oleh masyarakat
sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama diterapkan dalam
kehidupan masyarakat yang kemudian berproses menjadi norma sosial yang mencitrakan
moralitas
masyarakatnya.
Sebagai contohnya,slametan pada adat
Jawa banyak dipengaruhi oleh Islam dan didasarkan pada Al
Qur’an dan Hadits. Terlepas
dari berbagai teori tersebut, adat istiadat yang kemudian menjadi hukum adat,
bukanlah suatu regulasi yang tertulis seperti halnya undang-undang. Akan
tetapi, hukum tersebut tidak pernah tertulis, meskipun memang ada beberapa
hukum adat yang sudah tertulis, dan hidup ditengah-tengah masyarakat sebagai
kaidah atau norma. Sebagai contoh adalah hukum waris adat.
Waris yang merupakan sarana untuk melanjutkan suatu
kepemilikan harta benda, merupakan salah satu bentuk hukum adat yang sampai
sekarang masih dipegang teguh, terutama oleh masyarakat pedesaan. Mereka lebih
memilih menyelesaikan perkara waris menggunakan hukum adat daripada hukum
konvensional, karena menganggap hukum waris adat lebih bisa memberikan keadilan
bagi ahli waris.
Di sinilah yang kemudian menjadi akar masalah. Negara telah
memberikan aturan baku dalam penyelesaian masalah waris ini. Namun, masyarakat
agaknya lebih tertarik kepada hukum adat masing-masing daerah.
Kewarisan dalam Hukum Islam di
Indonesia
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dijelaskan terlebih
dahulu, yang dimaksud tentang hukum
Islam di Indonesia adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum kewarisan yang
terdapat dalam kompilasi ini bersumber dari kitab-kitab fiqh, yang sampai sekarang masih berlaku, serta
kenyataan yang berlaku dalam masyarakat yang tertuang dalam jurisprudensi
Pengadilan Agama.48 Kewarisan dalam
Kompilasi Hukum Islam ini diatur dalam buku II tentang hukum kewarisan sebanyak
23 pasal, yaitu pasal 171 sampai dengan pasal 193.
Dalam kompilasi ini, yang dimaksud dengan kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan( tirkah)
pewaris, menentukan siapa- siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing.
Pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama
Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Sedangkan ahli waris
adalah orang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris.
Kompilasi Hukum Islam ini membedakan antara harta
peninggalan dan harta warisan. Adapun yang dimaksud dengan harta peninggalan
adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang
menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan
harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah(ta jhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Mengenai para ahli waris, KHI mengklasifikasikan menjadi dua
klasifikasi, yaitu menurut hubungan darah dan menurut hubungan perkawinan.
Menurut hubungan darah golongan laki- laki adalah ayah, anak laki-laki, saudara
laki-laki, paman dan kakek. Sedangkan dari golongan perempuan terdiri dari ibu,
anak perempuan, dan nenek. Sedangkan yang menurut hubungan perkawinan adalah
duda atau janda. Apabila semua ahli waris tersebut ada, maka yang mendapatkan
bagian warisan adalah anak, ayah, ibu, dan janda atau duda.
Selanjutnya mengenai bagian masing-masing ahli waris, KHI
juga telah menjelaskan secara panjang lebar. Secara ringkas adalah sebagai
berikut:
1. Anak Perempuan
Anak perempuan apabila dia mewaris
sendirian, maka bagiannya adalah separoh dan apabila dua orang atau lebih
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Sedangkan bila bersama anak laki-laki
mendapatkanashabah (bagian sisa) dengan formulasi pembagian dua dibanding satu.
2. Ayah
Ayah mendapatkan ashabah jika
pewaris tidak meninggalkan anak. Sedangkan apabila pewaris meninggalkan anak,
ayah mendapatkan bagian seperenam.
3. Ibu
Ibu mendapatkan sepertiga apabila
tidak ada anak atau dua saudara atau lebih. Sedangkan apabila ada anak atau dua
saudara atau lebih, maka ibu mendapat bagian seperenam. Selain itu apabila ibu
mewaris hanya bersama dengan ayah, dan istri (janda) atau suami (duda), maka
bagiannya adalah sepertiga bagian dari sisa setelah diambil oleh janda atau
duda. Kewarisan seperti ini lebih dikenal dengan istilah gharawain,
umariyatain,ata u gharibatain.
4. Duda (suami)
Duda (suami) mendapat separoh bagian
apabila pewaris tidak meninggalkan anak. Sedangkan apabila ada anak maka
mendapat seperempat bagian.
5. Janda (istri)
Bagian janda (istri) adalah seperempat
apabila pewaris tidak meninggalkan anak. Dan apabila pewaris meninggalkan anak,
maka bagiannya adalah seperdelapan.
6. Saudara laki-laki atau saudara
perempuan seibu
Apabila pewaris tidak memiliki anak
dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing
mendapat seperenam bagian. Dan jika mereka itu dua orang
atau lebih, maka mendapat sepertiga
bagian.
7. Saudara perempuan kandung atau
seayah
Apabila pewaris tidak memiliki anak dan ayah, sedangkan ia
mempunyai seorang saudara perempuan sekandung atau seayah, maka ia mendapat
separoh bagian. Apabila dua orang atau lebih, maka bersama-sama mereka
mendapatkan dua pertiga bagian. Dan jika saudara perempuan tersebut bersama
saudara laki-laki maka pembagiannya dengan formulasi dua dibanding satu.
Pada pasal 184 juga dijelaskan bahwa jika ada ahli waris
yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka akan
diangkat wali berdasarkan keputusan hakim atas usul anggota keluarga.
Apabila ada ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada
si pewaris maka dapat digantikan oleh anaknya dengan catatan tidak ada
penghalang untuk mewarisi, bagiannya pun tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang digantikan.
Kewarisan semacam ini lebih dikenal dengan istilah munasakhah.
ANALISA PROSES PEWARISAN DALAM
MASYARAKAT ADAT JAWA
Yang di jadikan contoh suatu adat dalam makalah kami adalah adat jawa,
sebelumnya kami memohon maaf sebesar-besarnya kalau diantara rekan-rekan
sekalian merasa tersinggung, bukan maksud kami demikian. Secara umum, sistem
kewarisan yang biasa digunakan di dalam masyarakat adat
Jawa banyak mempunyai kesamaan dengan sistem kewarisan
dalam hukum Islam di Indonesia yang dalam hal ini adalah
Kompilasi Hukum Islam. Persamaan tersebut terutama
terletak pada sistem kekerabatan dan asas kewarisan yang
digunakan dan melekat pada keduanya.
Kewarisan adat Jawa maupun kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam sama-sama menggunakan sistem kekerabatan bilateral atau parental, dimana pada sistem kekerabatan ini tidak
berlaku penarikan garis keturunan dari jalur ayah atau jalur
ibu. Akan tetapi, penarikan garis keturunan pada sistem
bilateral atau parental diambil dari kedua orang tua
(bapak dan ibu). Hal ini berakibat dalam masalah
kewarisan, dimana ahli waris tidak didominasi oleh
anggota keluarga garis keturunan bapak atau ibu, tetapi
oleh kedua-duanya, perempuan mempunyai kesempatan yang
sama dengan laki-laki.
Mengenai asas kewarisannya pun, mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama menggunakan asas kewarisan individual. Artinya, harta warisan tidak dikuasi hanya oleh anggota keluarga
tertentu dan tidak pula digunakan secara bersama-sama dengan
hanya mengambil manfaatnya. Akan tetapi, harta warisan tersebut dibagi-bagi kepada masing-masing ahli waris menurut bagiannya masing-masing dan setiap ahli waris berhak memiliki dan menguasainya, karena harta pada asas kewarisan individual bersifat ‘bisa
dibagi-bagi
Sistem kewarisan adat Jawa dengan Kompilasi Hukum Islam juga
mempunyai perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan tersebut
terutama terletak pada proses pewarisanya, ahli waris, dan cara pembagian
hartanya. Adapun secara singkat akan dijelaskan pada sub bab berikut.
A. Mengenai Proses Pewarisan
Proses pewarisan dalam sistem adat Jawa dan Kompilasi Hukum
Islam sangat berbeda. Perbedaan ini akibat adanya perbedaan salah satu asas
kewarisannya. Selain asas individual, dalam waris sistem KHI juga menganut asas
kematian semata, sehingga ahli waris baru bisa mendapatkan harta warisan ketika
pewaris meninggal. Demikian juga pewaris, baru bisa mewariskan hartanya kepada
para ahli warisnya ketika ia sudah meninggal.
Berbeda dengan sistem kewarisan adat
Jawa yang tidak menganut asas kematian semata. Sehingga hal ini mengakibatkan
harta warisan bisa diwariskan ketika pewaris masih hidup. Dengan kata lain,
pada kewarisan adat Jawa, harta warisan selain diwaris setelah pewaris
meninggal, juga bisa diwariskan pada saat pewaris masih hidup. Cara yang biasa
ditempuh ada tiga macam, yaitu dengan cara penerusan atau pengalihan,
penunjukan, danweling atau wekas (berpesan, berwasiat).
B.Mengenai Ahli Waris dan Cara
Pembagian
Dalam
hal ahli waris kedua sistem tersebut juga mempunyai perbedaan yang sangat
mencolok. Yang pertama, mengenai ahli waris anak angkat. Dalam Kompilasi Hukum
Islam, yang menjadi ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris. Dengan demikian, anak angkat bukan
merupakan ahli waris dari pewaris karena tidak mempunyai hubungan darah dengan
pewaris.
Sedangkan dalam sistem kewarisan
adat Jawa, anak angkat merupakan ahli waris dari pewaris. Bahkan, kedudukannya
sangat isimewa dan bisa saja mengalahkan anak kandung. Biasanya, anak angkat
akan mendapatkan warisan sebelum orang tua angkatnya meninggal dengan cara
pengalihan atau penerusan. Hal itu dikarenakan adanya kekhawatiran orang tua
angkat, apabila warisan diberikan setelah wafatnya, anak angkat tersebut akan
kalah dengan anak kandung.
Yang kedua mengenai ahli waris utama. Di dalam sistem
kewarisan adat Jawa, dikenal dengan adanya ahli waris utama, yaitu orang-orang
yang dibesarkan dalam keluarga pewaris (anak kandung atau anak angkat). Hal ini
mengakibatkan yang akan mendapatkan harta waris pertama kali adalah ahli waris
utama. Karena adat Jawa menganut sistem pembagian bertingkat, yaitu apabila
ahli waris utama tidak ada maka warisan akan diberikan kepada orang tua
pewaris, dan jika tidak ada kepada saudara kandung pewaris dan begitu
seterusnya. Namun apabila ada ahli waris utama, maka gugurlah kesempatan
anggota keluarga yang lain untuk mendapatkan warisan.
Berbeda dengan KHI yang tidak
menganut adanya ahli waris utama. Harta warisan dibagikan kepada para ahli
waris yang memang tidak terhalang untuk mewaris (karenamahjub atau sebab lain).
Sehingga setiap ahli waris mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan
harta warisan sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Selanjutnya dalam hal pembagian, sistem kewarisan adat Jawa
tidak berdasarkan perhitungan matematis seperti dalam sistem KHI.
Perhitungannya dilakukan secara dundum kupat, yaitu harta warisan dibagi sama
antara para ahli waris baik laki- laki dan perempuan. Hal ini didasarkan pada
suatu perkiraan dan iktikad baik bahwa dengan pembagian yang seperti itu
keadilan dan keseimbangan antara para ahli waris dapat tercapai.
KESIMPULAN
-
Pada adat Jawa proses pewarisan dapat dilakukan sebelum dan sesudah kematian,
sedangkan dalam KHI hanya dapat dilakukan setelah adanya kematian.
-
Pada adat Jawa anak angkat diakui sebagai ahli waris, sedangkan dalam KHI tidak
diakui, karena anak angkat tidak mempunyai hubungan darah dengan pewaris.
-
Dalam adat Jawa terdapat ahli waris utama dan menggunakan sistem pembagian
bertingkat, sehingga apabila ahli waris utama ada, maka ahli waris lain akan
terhalang. Sedangan dalam KHI tidak menganut adanya ahli waris utama. Semua
ahli waris yang memang tidak berhalangan mewaris mendapat kesempatan yang sama
sesuai dengan bagiannya.
- "Pelajarilah Al-Qur'an
dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan ajarkanlah
kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini
pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang
akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya
tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. "
(HR Daruquthni)
-
http://luk.staff.ugm.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar