I actually don't think something like perfection exists,
that is i think why we are born able to absorb things,..
and by comparing ourselves with something else, we can finally head in a good direction.

Kamis, 24 November 2011

PANDANGAN AGAMA ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT HUKUM ADAT



Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
"... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris bagi para kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang mesti diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman Allah berikut:
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan. " (an-Nisa': 7)
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
"... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)
Pada ayat kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabat pewaris (sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan bagian dibandingkan lainnya yang bukan kerabat atau tidak mempunyai tali kekerabatan dengannya. Mereka lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan kaum Muhajirin.
Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak mendapatkan warisan. Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama yang kuat, kaum muslim telah benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah peristiwa penaklukan kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan persaudaraan, dengan hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan kekerabatan.
Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua jenis manusia lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak waris secara imbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki ataupun wanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab. Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).
Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita, padahal kaum wanita jauh lebih banyak membutuhkannya, karena di samping memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan bantuan baik moril maupun materiil?
Beberapa hikmah adanya syariat yang telah Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:
  1. Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
  2. Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
  3. Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.
  4. Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan papan.
  5. Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan pembagian antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Secara logika, siapa pun yang memiliki tanggung jawab besar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukum Islam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta miliknya meski sedikit, baik untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya (keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab, suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
"... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)
Pembagian Warisan Menurut Hukum Adat
Setiap anggota masyarakat di pedesaan pada umumnya sangat menghormati adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun. Bahkan adat istiadat merupakan dasar utama hubungan antar personal atau kelompok. Adat-istiadat atau kebiasaan masyarakat tersebut kemudian berkembang menjadi hukum adat dimana harus dipatuhi oleh segenap anggota Hukum adat dalam masyarakat adat, masih dianggap sebagai aturan hidup untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Akan tetapi, sebagai hukum yang hidup (living law), hukum adat tidak selamanya memberi rasa adil kepada masyarakatnya. Hal itu dikarenakan, pemberlakuan hukum adat dipaksakan oleh penguasa adat dan kelompok sosialnya.
Hukum adat juga tidak bisa dipisahkan dengan agama. Meskipun merupakan hal yang masing-masing berdiri sendiri, hukum adat dan agama yang dalam hal ini adalah hukum Islam, mempunyai hubungan yang sangat erat. Hukum adat berasimilasi dengan hukum Islam atau hukum Islam yang diterapkan dalam masyarakat menjadi hukum adat. Kepentingan sosial akan hukum dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianut oleh masyarakat sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang kemudian berproses menjadi norma sosial yang mencitrakan moralitas masyarakatnya. Sebagai contohnya,slametan pada adat Jawa banyak dipengaruhi oleh Islam dan didasarkan pada Al Qur’an dan Hadits. Terlepas dari berbagai teori tersebut, adat istiadat yang kemudian menjadi hukum adat, bukanlah suatu regulasi yang tertulis seperti halnya undang-undang. Akan tetapi, hukum tersebut tidak pernah tertulis, meskipun memang ada beberapa hukum adat yang sudah tertulis, dan hidup ditengah-tengah masyarakat sebagai kaidah atau norma. Sebagai contoh adalah hukum waris adat.
Waris yang merupakan sarana untuk melanjutkan suatu kepemilikan harta benda, merupakan salah satu bentuk hukum adat yang sampai sekarang masih dipegang teguh, terutama oleh masyarakat pedesaan. Mereka lebih memilih menyelesaikan perkara waris menggunakan hukum adat daripada hukum konvensional, karena menganggap hukum waris adat lebih bisa memberikan keadilan bagi ahli waris.
Di sinilah yang kemudian menjadi akar masalah. Negara telah memberikan aturan baku dalam penyelesaian masalah waris ini. Namun, masyarakat agaknya lebih tertarik kepada hukum adat masing-masing daerah.
Kewarisan dalam Hukum Islam di Indonesia
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dijelaskan terlebih dahulu, yang dimaksud  tentang hukum Islam di Indonesia adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum kewarisan yang terdapat dalam kompilasi ini bersumber dari kitab-kitab fiqh,  yang sampai sekarang masih berlaku, serta kenyataan yang berlaku dalam masyarakat yang tertuang dalam jurisprudensi Pengadilan Agama.48 Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam ini diatur dalam buku II tentang hukum kewarisan sebanyak 23 pasal, yaitu pasal 171 sampai dengan pasal 193.
Dalam kompilasi ini, yang dimaksud dengan kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan( tirkah) pewaris, menentukan siapa- siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan  Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Sedangkan ahli waris adalah orang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Kompilasi Hukum Islam ini membedakan antara harta peninggalan dan harta warisan. Adapun yang dimaksud dengan harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah(ta jhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Mengenai para ahli waris, KHI mengklasifikasikan menjadi dua klasifikasi, yaitu menurut hubungan darah dan menurut hubungan perkawinan. Menurut hubungan darah golongan laki- laki adalah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Sedangkan dari golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, dan nenek. Sedangkan yang menurut hubungan perkawinan adalah duda atau janda. Apabila semua ahli waris tersebut ada, maka yang mendapatkan bagian warisan adalah anak, ayah, ibu, dan janda atau duda.
Selanjutnya mengenai bagian masing-masing ahli waris, KHI juga telah menjelaskan secara panjang lebar. Secara ringkas adalah sebagai berikut:
1. Anak Perempuan
Anak perempuan apabila dia mewaris sendirian, maka bagiannya adalah separoh dan apabila dua orang atau lebih bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Sedangkan bila bersama anak laki-laki mendapatkanashabah (bagian sisa) dengan formulasi pembagian dua dibanding satu.
2. Ayah
Ayah mendapatkan ashabah jika pewaris tidak meninggalkan anak. Sedangkan apabila pewaris meninggalkan anak, ayah mendapatkan bagian seperenam.

3. Ibu
Ibu mendapatkan sepertiga apabila tidak ada anak atau dua saudara atau lebih. Sedangkan apabila ada anak atau dua saudara atau lebih, maka ibu mendapat bagian seperenam. Selain itu apabila ibu mewaris hanya bersama dengan ayah, dan istri (janda) atau suami (duda), maka bagiannya adalah sepertiga bagian dari sisa setelah diambil oleh janda atau duda. Kewarisan seperti ini lebih dikenal dengan istilah gharawain, umariyatain,ata u gharibatain.

4. Duda (suami)
Duda (suami) mendapat separoh bagian apabila pewaris tidak meninggalkan anak. Sedangkan apabila ada anak maka mendapat seperempat bagian.

5. Janda (istri)
Bagian janda (istri) adalah seperempat apabila pewaris tidak meninggalkan anak. Dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka bagiannya adalah seperdelapan.

6. Saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu
Apabila pewaris tidak memiliki anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Dan jika mereka itu dua orang
atau lebih, maka mendapat sepertiga bagian.

7. Saudara perempuan kandung atau seayah
Apabila pewaris tidak memiliki anak dan ayah, sedangkan ia mempunyai seorang saudara perempuan sekandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Apabila dua orang atau lebih, maka bersama-sama mereka mendapatkan dua pertiga bagian. Dan jika saudara perempuan tersebut bersama saudara laki-laki maka pembagiannya dengan formulasi dua dibanding satu.
Pada pasal 184 juga dijelaskan bahwa jika ada ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka akan diangkat wali berdasarkan keputusan hakim atas usul anggota keluarga.
Apabila ada ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka dapat digantikan oleh anaknya dengan catatan tidak ada penghalang untuk mewarisi, bagiannya pun tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan. Kewarisan semacam ini lebih dikenal dengan istilah munasakhah.
ANALISA PROSES PEWARISAN DALAM MASYARAKAT ADAT JAWA
Yang di jadikan contoh suatu adat dalam makalah kami adalah adat jawa, sebelumnya kami memohon maaf sebesar-besarnya kalau diantara rekan-rekan sekalian merasa tersinggung, bukan maksud kami demikian. Secara umum, sistem kewarisan yang biasa digunakan di dalam masyarakat adat Jawa banyak mempunyai kesamaan dengan sistem kewarisan dalam hukum Islam di Indonesia yang dalam hal ini adalah Kompilasi Hukum Islam. Persamaan tersebut terutama terletak pada sistem kekerabatan dan asas kewarisan yang digunakan dan melekat pada keduanya.
Kewarisan adat Jawa maupun kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam sama-sama menggunakan sistem kekerabatan bilateral atau parental, dimana pada sistem kekerabatan ini tidak berlaku penarikan garis keturunan dari jalur ayah atau jalur ibu. Akan tetapi, penarikan garis keturunan pada sistem bilateral atau parental diambil dari kedua orang tua (bapak dan ibu). Hal ini berakibat dalam masalah kewarisan, dimana ahli waris tidak didominasi oleh anggota keluarga garis keturunan bapak atau ibu, tetapi oleh kedua-duanya, perempuan mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki.
Mengenai asas kewarisannya pun, mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama menggunakan asas kewarisan individual. Artinya, harta warisan tidak dikuasi hanya oleh anggota keluarga tertentu dan tidak pula digunakan secara bersama-sama dengan hanya mengambil manfaatnya. Akan tetapi, harta warisan tersebut dibagi-bagi kepada masing-masing ahli waris menurut bagiannya masing-masing dan setiap ahli waris berhak memiliki dan menguasainya, karena harta pada asas kewarisan individual bersifat ‘bisa dibagi-bagi
Sistem kewarisan adat Jawa dengan Kompilasi Hukum Islam juga mempunyai perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan tersebut terutama terletak pada proses pewarisanya, ahli waris, dan cara pembagian hartanya. Adapun secara singkat akan dijelaskan pada sub bab berikut.
A. Mengenai Proses Pewarisan
Proses pewarisan dalam sistem adat Jawa dan Kompilasi Hukum Islam sangat berbeda. Perbedaan ini akibat adanya perbedaan salah satu asas kewarisannya. Selain asas individual, dalam waris sistem KHI juga menganut asas kematian semata, sehingga ahli waris baru bisa mendapatkan harta warisan ketika pewaris meninggal. Demikian juga pewaris, baru bisa mewariskan hartanya kepada para ahli warisnya ketika ia sudah meninggal.
Berbeda dengan sistem kewarisan adat Jawa yang tidak menganut asas kematian semata. Sehingga hal ini mengakibatkan harta warisan bisa diwariskan ketika pewaris masih hidup. Dengan kata lain, pada kewarisan adat Jawa, harta warisan selain diwaris setelah pewaris meninggal, juga bisa diwariskan pada saat pewaris masih hidup. Cara yang biasa ditempuh ada tiga macam, yaitu dengan cara penerusan atau pengalihan, penunjukan, danweling atau wekas (berpesan, berwasiat).

B.Mengenai Ahli Waris dan Cara Pembagian
Dalam hal ahli waris kedua sistem tersebut juga mempunyai perbedaan yang sangat mencolok. Yang pertama, mengenai ahli waris anak angkat. Dalam Kompilasi Hukum Islam, yang menjadi ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris. Dengan demikian, anak angkat bukan merupakan ahli waris dari pewaris karena tidak mempunyai hubungan darah dengan pewaris.
Sedangkan dalam sistem kewarisan adat Jawa, anak angkat merupakan ahli waris dari pewaris. Bahkan, kedudukannya sangat isimewa dan bisa saja mengalahkan anak kandung. Biasanya, anak angkat akan mendapatkan warisan sebelum orang tua angkatnya meninggal dengan cara pengalihan atau penerusan. Hal itu dikarenakan adanya kekhawatiran orang tua angkat, apabila warisan diberikan setelah wafatnya, anak angkat tersebut akan kalah dengan anak kandung.
Yang kedua mengenai ahli waris utama. Di dalam sistem kewarisan adat Jawa, dikenal dengan adanya ahli waris utama, yaitu orang-orang yang dibesarkan dalam keluarga pewaris (anak kandung atau anak angkat). Hal ini mengakibatkan yang akan mendapatkan harta waris pertama kali adalah ahli waris utama. Karena adat Jawa menganut sistem pembagian bertingkat, yaitu apabila ahli waris utama tidak ada maka warisan akan diberikan kepada orang tua pewaris, dan jika tidak ada kepada saudara kandung pewaris dan begitu seterusnya. Namun apabila ada ahli waris utama, maka gugurlah kesempatan anggota keluarga yang lain untuk mendapatkan warisan.
Berbeda dengan KHI yang tidak menganut adanya ahli waris utama. Harta warisan dibagikan kepada para ahli waris yang memang tidak terhalang untuk mewaris (karenamahjub atau sebab lain). Sehingga setiap ahli waris mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan harta warisan sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Selanjutnya dalam hal pembagian, sistem kewarisan adat Jawa tidak berdasarkan perhitungan matematis seperti dalam sistem KHI. Perhitungannya dilakukan secara dundum kupat, yaitu harta warisan dibagi sama antara para ahli waris baik laki- laki dan perempuan. Hal ini didasarkan pada suatu perkiraan dan iktikad baik bahwa dengan pembagian yang seperti itu keadilan dan keseimbangan antara para ahli waris dapat tercapai.







KESIMPULAN
- Pada adat Jawa proses pewarisan dapat dilakukan sebelum dan sesudah kematian, sedangkan dalam KHI hanya dapat dilakukan setelah adanya kematian.
- Pada adat Jawa anak angkat diakui sebagai ahli waris, sedangkan dalam KHI tidak diakui, karena anak angkat tidak mempunyai hubungan darah dengan pewaris.
- Dalam adat Jawa terdapat ahli waris utama dan menggunakan sistem pembagian bertingkat, sehingga apabila ahli waris utama ada, maka ahli waris lain akan terhalang. Sedangan dalam KHI tidak menganut adanya ahli waris utama. Semua ahli waris yang memang tidak berhalangan mewaris mendapat kesempatan yang sama sesuai dengan bagiannya.
- "Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. " (HR Daruquthni)




-          http://www.scribd.com
-          http://luk.staff.ugm.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar